Ini ada unen-unen berbahasa Jawa dari Ibu saya:
“tunggal guru aja ngganggu,
tunggal kanca aja nggodha,
tunggal wiyata aja daksiya,”
Tenggang rasa nikmat rasanya. Bisa meringankan beban sesama. Wong sudah tahu sesama kok tidak mau tenggang rasa, lha trus maunya jadi apa?
Mengganggu, menggoda, semena-mena, sama akibatnya. Merenggangkan kedekatan. Mempercepat kehancuran. Memadamkan api persaudaraan. Merobek paseduluran. Mendramatisir keadaan. Merancukan kalimat.
Langsung saja.
Saya dan dia sama-sama berguru kepada Si A. Saya sebut hubungan kami ini sedang sesumber. Satu sumber ilmunya. Nyatanya, sesumber bisa memicu sesumbar. Meski terkesan ngepasne tembung, biarkan saja. Wong nyatanya seperti ini kemampuan menulis saya.
Sesumbar identik dengan mengklaim bahwa dirinya paling amat sangat ter-. Lantas tak segan menyerang teman sesumbernya. Padahal hanya sedikit berlainan sudut pandang.
Saya dan dia sama-sama berteman dengan Si A. Saya sebut hubungan kami ini sedang seteman. Satu yang jadi idola, dua orang penggemarnya. Nyatanya seteman bisa memicu sentimen. Meski terkesan ngepasne tembung lagi, biarkan saja. Tapi kalau ini memang agak mlenceng.
Sentimen identik dengan cari gara-gara. Lantas tak segan menggagalkan rencana teman setemannya. Padahal hanya sedikit berlainan pembagian rejekinya.
Yang kalimat terakhir tidak akan saya buat seperti model di atas . Biar kelihatan agak berbeda. Tapi jelas, kami sedang setempat.
Tunggal wiyata aja daksiya. Sama-sama tempat belajarnya di A, tidak perlu semena-mena.
Suasana tempat belajar menjadi penentu keberhasilan penyerapan ilmu. Orang-orang di sekitar saya tak bagi jadi tiga:
- Lebih tinggi dari saya
- Sama dengan saya
- Lebih rendah dari saya
Daripada semena-mena kepada teman setempat belajar, lebih baik dimanfaatkan saja untuk indikator cuma-cuma. Lihat yang lebih tinggi biar terpacu segera lari. Lihat sesama biar tahu kemampuan saya sampai di mana. Lihat yang lebih rendah biar tidak marah kalau tertimpa musibah.
Nuwun.