Dhandhanggula

?
Barang kuwi rokok araneki
Yen ngrahabi sinuled ing brama
Den isep sinebulake
Saking tutuk lan irung
Keluk mijil angganda wangi
Dahat rinasa nikmat
Tumrap kang wus nyandu
Nanging yen nora kulina
Dhadha ampeg sirah nggliyeng lamun nyobi
Pindha arsa kantaka

kantaka: klenger, semaput ??

(Sumber: Panjebar Semangat No. 15 – 9 April 2016 Hal. 35)

Aku Bangga Dibilang Kampungan

Mangan ora mangan sing penting kumpul. Itu kalimat yang disoroti oleh Wasis Gunarto (pemerhati kuliner), dalam Kumpulan Cergam Kampungan.

Beliau menegaskan, kalimat ujar-ujar yang dipopulerkan Umar Kayam itu mampu memasukkan makna-makna kearifan lokal dalam kehidupan sehari-hari. Lebih tepat lagi, kata beliau, kumpulnya itu bukan sekedar makan demi keperluan pribadi semata. Melainkan untuk anak turun mereka.

Kalau unen-unen ini sudah populer di awal abad 20 silam, tentu waktu itu sudah ada tempat khusus di pikiran mereka tentang masa depan sekelompok ‘anak turun’. Lantas, siapa yang mereka maksud anak turun? Ya kita ini.

Masih tidak mau mengakui kalau kita semua keturunan orang ndesa (ndeso)? Lebih cetha lagi: orang ndesa yang sangat gigih menjaga kekayaan peradaban mereka sendiri. Berbudi luhur, santun, dan cerdas.

Masih nggaya sok jijik mempraktikkan hal-hal yang terkesan tradisional?

“Kesan tradisional itu lak muncul setelah apa-apa dimuseumkan. Kampanye museumisasi memaksa orang zaman sekarang merasa jadi kaum modern. Melihat budayanya sendiri malah berujar: tradisional banget sih, elu!” tandas beliau.

Alon-alon Waton Kelakon

Alon-alon waton kelakon (AWK). Pelan-pelan saja, yang penting tercapai apa yang terlanjur jadi rencana.

Yang di atas itu makna umum. Biasa disampaikan kepada orang yang sekedar ingin mengerti alih bahasa. Dari Bahasa Jawa ke Bahasa Indonesia Tanah Airku yang Tercinta ini.

Setelah saya merenung tentang AWK, hasilnya ada dua. Kata kunci perbedaannya terletak pada gambaran strategi pencapaian tujuan.

Pertama, para pengguna AWK ini menegaskan kepada dirinya sendiri tentang arti kewaspadaan. Kewaspadaan menjadi hal yang teramat sangat penting bagi mereka. Pengguna yang pertama ini sejatinya sudah punya gambaran  tentang strategi pencapaian tujuan. Bukan sekedar jelas, tapi juga punya tingkat akurasi dan presisi yang tinggi. Akan tetapi, tingkat kewaspadaan yang berlebihan ini menyebabkan pencapaian tujuan-tujuan mereka terkesan pelan.

Kedua, pengguna AWK yang sebenarnya pantas disebut pemalas. Tidak punya gambaran jelas. Mereka hanya mengalir bagaikan air di dalam gelas yang tiba-tiba saja tumpah. Tumpah karena gelas yang ambruk. Ambruk karena hempasan air sisa cucian. Sebenarnya mereka  sudah tidak pantas dikatakan mengalir. Lebih tepat dikatakan dialirkan. Dialirkan oleh orang lain disekitarnya. Karena kecanduan dengan ketergantungan, mereka pelan-pelan menanti hempasan. Kalau hempasan itu dengan suka rela memberikan bantuan atas ketercapaian rencana yang terlanjur mereka susun, saat inilah dimaknai oleh pengguna kedua sebagai arti kelakon.

Akhirnya, AWK akan lebih bermanfaat jika disandingkan/digunakan bersama dengan: Alon-alon sing penting rikat gek ndang gelis tekan ngenggon.

Sepi ing Pamrih Rame ing Gawe

Sepi ing pamrih Rame ing Gawe merupakan sebuah prinsip hidup bagi orang Jawa; dapat diartikan bahwa dalam melakukan sesuatu hendaknya kita tidak terlalu memikirkan apa yang akan kita dapatkan (baik materi maupun pujian) dan tidak perlu banyak bicara. Baca Selengkapnya

Tolong-menolong

Memang sudah sepantasnya bahwa tolong-menolong dianggap sebagai perbuatan baik. Tentu saja tolong-menolong dalam kebaikan. Bagaimana tidak, menolong orang lain itu sama halnya mengubah takdir. Takdir orang lain, juga takdir diri sendiri.

“Jangan banyak-banyak ngomongin takdir, Mas,” kata orang di pinggir jalan tadi.

“Masalah? Masalah?!” jawab saya.

“Ya sebenarnya tidak masalah, Mas. Hanya saja kalau semua orang sudah yakin takdir, terus gak mau ngapa-ngapain kan jadi repot,” beliau masih ingin menasihati.

“Masalah? Masalah? Masalah?!!!” jawab saya.

“Ya sebenarnya tidak masalah, Mas. Hanya saja, kalau semua orang sudah yakin takdir, gak ada lagi dong berita-berita mengenaskan di layar televisi,” beliau masih sok tahu. “Gak ada lagi hutang-hutangan berakhir pembunuhan, anak sendiri dicabuli, lebih-lebih, sampai ada oknum polisi menipu petani,” lanjut beliau. “Masalah, Mas?!!!” beliau malah mendahului.

(saya baru mau ngomong lagi malah beliau lanjut lagi), “Meningatkan diri sendiri untuk selalu belajar, berusaha, dan berdoa, itu juga bisa mengubah takdir, Mas.”

Tak lama kemudian beliau dicekal oleh beberapa suster rumah sakit jiwa. Kata salah satu suster, beliau belum tuntas mengikuti program Paket Hemat Setrum Kepala. Seharusnya mendapatkan 6 kali setruman, beliau baru mengikutinya 3 kali.

Tenggang Rasa

Ini ada unen-unen berbahasa Jawa dari Ibu saya:

“tunggal guru aja ngganggu,

tunggal kanca aja nggodha,

tunggal wiyata aja daksiya,”

Tenggang rasa nikmat rasanya. Bisa meringankan beban sesama. Wong sudah tahu sesama kok tidak mau tenggang rasa, lha trus maunya jadi apa?

Mengganggu, menggoda, semena-mena, sama akibatnya. Merenggangkan kedekatan. Mempercepat kehancuran. Memadamkan api persaudaraan. Merobek paseduluran. Mendramatisir keadaan. Merancukan kalimat.

Langsung saja.

Saya dan dia sama-sama berguru kepada Si A. Saya sebut hubungan kami ini sedang sesumber. Satu sumber ilmunya. Nyatanya, sesumber bisa memicu sesumbar. Meski terkesan ngepasne tembung, biarkan saja. Wong nyatanya seperti ini kemampuan menulis saya.

Sesumbar identik dengan mengklaim bahwa dirinya paling amat sangat ter-. Lantas tak segan menyerang teman sesumbernya. Padahal hanya sedikit berlainan sudut pandang.

Saya dan dia sama-sama berteman dengan Si A. Saya sebut hubungan kami ini sedang seteman. Satu yang jadi idola, dua orang penggemarnya. Nyatanya seteman bisa memicu sentimen. Meski terkesan ngepasne tembung lagi, biarkan saja. Tapi kalau ini memang agak mlenceng.

Sentimen identik dengan cari gara-gara. Lantas tak segan menggagalkan rencana teman setemannya. Padahal hanya sedikit berlainan pembagian rejekinya.

Yang kalimat terakhir tidak akan saya buat seperti model di atas . Biar kelihatan agak berbeda. Tapi jelas, kami sedang setempat.

Tunggal wiyata aja daksiya. Sama-sama tempat belajarnya di A, tidak perlu semena-mena.

Suasana tempat belajar menjadi penentu keberhasilan penyerapan ilmu. Orang-orang di sekitar saya tak bagi jadi tiga:

  1. Lebih tinggi dari saya
  2. Sama dengan saya
  3. Lebih rendah dari saya

Daripada semena-mena kepada teman setempat belajar, lebih baik dimanfaatkan saja untuk indikator cuma-cuma. Lihat yang lebih tinggi biar terpacu segera lari. Lihat sesama biar tahu kemampuan saya sampai di mana. Lihat yang lebih rendah biar tidak marah kalau tertimpa musibah.

Nuwun.